
Pada satu setengah abad yang lalu, Ratu Belanda Wilhelmina menghadiahkan jam kepada seorang controleur di Bukittinggi yang namanya Rook Maker. Jam tersebut bukanlah arloji atau jam dinding biasa, melainkan jam besar yang tetap bertahan dan menetap di kota tersebut sampai Rook Maker beranjak meninggalkan tanah jajahannya. Warga Bukit tinggi menamainya jam gadang yang berarti jam besar. Faktanya jam ini memang melekat pada menara setinggi 26 meter dan bisa dilihat dan segala penjuru kota. Dua arsitek setempat, Yasin dan Sutan Gigi Ameh, awalnya mendandani jam senilai 3.000 gulden ini dengan puncak membulat dan ornamen ayam jago. Seiring dengan bergulirnya waktu, menara jam gadang beberapa kali mengalami renovasi. Ketika kekuasaan Belanda disana berakhir, Bukittinggi dikuasai oleh Jepang, puncak jam gadang pun diubah menyerupai jinja, Yaitu atap berbentuk trapesium yang merupakan ciri khas kuil shinto. Setelah kemerdekaan, puncak menara diubah lagi menjadi atap bagonjong yang merupan ciri khas Minangkabau. Uniknya Jam gadang adalah akan kelihatan berbeda saat jarumnya menunjuk pukul empat. Meski seluruh bilangan waktu ditulis menggunakan angka Romawi, angka empat di jam tidak ditulis dengan lambang IV, melainkan lambang IIII.